Di masa lalu, sebelum era media sosial, kita dapat menikmati setiap momen dengan lebih tulus, tanpa merasa perlu menginvestasikan energi tambahan untuk merekam atau mengabadikannya demi dibagikan kepada orang lain. Kehidupan terasa lebih lugas, tanpa distraksi dari kebutuhan untuk memenuhi ekspektasi dunia maya. Namun, kini saya merasa ada perubahan mendasar dalam cara kita memaknai kebahagiaan. Apakah kebahagiaan yang kita rasakan itu benar-benar murni berasal dari momen tersebut, ataukah ia muncul karena kita ingin dunia tahu bahwa kita sedang bahagia? Pertanyaan ini sering berulang di benak saya, mengusik keyakinan bahwa kebahagiaan, yang seharusnya bersifat personal, telah bergeser menjadi sesuatu yang terikat erat pada pengakuan sosial.
Ironisnya, meskipun banyak dari kita berargumen bahwa unggahan di media sosial dilakukan semata-mata untuk menyimpan kenangan, kenyataan berkata lain. Ada kekecewaan yang timbul ketika unggahan tersebut tidak mendapat respons sesuai harapan. Jumlah “likes” yang terasa kurang atau ketiadaan komentar dari orang-orang yang kita harapkan dapat menimbulkan rasa hampa. Seolah-olah kenangan itu kehilangan nilainya ketika tidak mendapat validasi dari orang lain, padahal sejatinya, kenangan itu sudah cukup berharga hanya dengan menjadi bagian dari hidup kita sendiri.
Media sosial juga, secara halus namun signifikan, memengaruhi cara kita memandang momen-momen yang kita alami. Terkadang, kita benar-benar menikmati kebahagiaan yang utuh dalam sebuah momen. Namun, ketika momen itu tidak terdokumentasi dalam bentuk foto atau video, muncul perasaan seakan ada yang kurang. Kita merasa kehilangan sesuatu hanya karena momen tersebut tidak dapat diabadikan atau dibagikan. Saya percaya inilah salah satu dampak paling signifikan dari media sosial: standar kebahagiaan kita bergeser, dari bagaimana kita merasakannya, menjadi bagaimana momen itu dapat dilihat, dinilai, atau bahkan diapresiasi oleh orang lain.
Barangkali inilah alasan di balik ungkapan "best moments are not captured." Saat kita benar-benar merasakan kebahagiaan yang mendalam dan ingin menyimpannya dalam hati, kita tak lagi tergerak untuk mencari kamera atau ponsel. Fokus kita sepenuhnya tercurah pada momen itu sendiri, tanpa terganggu oleh keinginan untuk mengabadikannya. Justru inilah yang memberi nilai istimewa pada kebahagiaan tersebut—kesederhanaannya, ketulusannya, dan keberadaannya yang tak memerlukan bukti visual apa pun. Ada keindahan tersendiri dalam menyimpan kenangan itu di dalam hati, tanpa perlu diungkapkan melalui layar.
Saya meyakini bahwa salah satu cara untuk memulihkan esensi kebahagiaan yang sejati adalah dengan menahan diri dari penggunaan media sosial secara berlebihan. Tentu, ini bukan hal yang mudah dilakukan, terlebih karena media sosial telah menjadi saluran utama untuk berbagai informasi penting. Namun, pada akhirnya, hati dan pikiran kita adalah milik kita sendiri—dan kita memiliki kendali penuh atas keduanya. Kita dapat memilih untuk tidak membiarkan media sosial mendikte bagaimana cara kita menikmati sebuah momen atau mengukur kebahagiaan. Dengan menempatkan kendali kembali di tangan kita, barangkali kita bisa kembali menemukan makna sejati dari kebahagiaan itu sendiri.
Ada beberapa langkah sederhana namun signifikan yang dapat kita ambil untuk mengurangi ketergantungan pada media sosial. Salah satunya adalah dengan menetapkan batas waktu harian, misalnya hanya satu hingga dua jam setiap hari. Sesekali, kita juga bisa mencoba "detoks digital" dengan beristirahat sepenuhnya dari media sosial selama sehari penuh, untuk merasakan kembali bagaimana rasanya hidup tanpa tekanan untuk selalu "terhubung." Sebelum membagikan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar bermakna bagi saya?" Bukan sekadar untuk menarik perhatian atau mendapat pengakuan.
Lebih dari itu, kita perlu melatih kemampuan untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen, sebuah praktik yang sering disebut mindfulness. Ketika berada dalam sebuah situasi yang berharga, luangkan waktu sejenak untuk menikmati pengalaman tersebut tanpa segera meraih ponsel. Alihkan fokus dan energi dari dunia digital ke dunia nyata—habiskan waktu bersama orang-orang terkasih, nikmati percakapan yang mendalam tanpa gangguan teknologi, dan hargai kehadiran mereka sepenuhnya.
Pada akhirnya, saya percaya bahwa media sosial seharusnya berfungsi sebagai alat bantu, bukan penguasa. Dengan menyadari hal ini, kita dapat menggunakannya dengan lebih bijak, menjaga kebahagiaan kita tetap autentik dan tidak bergantung pada apa yang orang lain pikirkan. Kebahagiaan sejati adalah sesuatu yang personal, milik kita sendiri, dan tidak selalu perlu dibagikan kepada dunia untuk mendapatkan maknanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments