Nak, hati ibu tak luas. Tak juga punya ornamen indah. Tetapi, Nak, disana teduh, disana semegah-megahnya rumah ibadah - Petuah Ayah
Sudah lima tahun berlalu tapi, kok, seperti mustahil saya bisa melupakannya. Setiap saya coba flashbak, atau saat memori itu tiba-tiba datang tanpa diundang, rasanya masih sama seakan baru terjadi kemarin. Entah itu air mata yang susah berhenti, harapan dalam ilusi bahwa semua hanya mimpi, atau di antaranya, ada momen saya merasa jengkel dengan orang-orang yang tak berhenti menyampaikan ungkapan belasungkawanya. Mereka cuma memperjelas kenyataan bahwa Bapak sudah tidak ada. Tapi kalau ada orang yang tanpa ekspresi seakan tidak ada apa-apa yang terjadi, saya lebih jengkel lagi.
Seiring berjalan waktu, semua perlahan kembali ke ritmenya masing-masing. Nande kembali pada rutinitas mengajarnya, saya melanjutkan perjuangan menyelesaikan S2, kakak saya dengan keluarga barunya, dan abang saya yang selain bertanggung jawab dengan pekerjaannya, juga menanggung beban lain yang lebih besar; menggantikan Bapak sebagai kepala keluarga bagi Nande dan saya. Para tetua yang menyemangati kami di tengah duka mengingatkan bahwa hanya abang saya yang kehilangan Bapak sedangkan saya dan kakak tidak.
Sejak SD saat saya mulai memiliki lingkaran-lingkaran saya sendiri di luar keluarga dan kerabat, bukan hal baru saat saya harus menerima kabar duka dari teman-teman saya. Tapi tidak pernah sekali pun saya membayangkan akan tiba waktunya mereka menerima berita serupa dari saya. Padahal sebagai makhluk yang beragama, seharusnya saya menyadari bahwa kematian itu akan menghampiri diri saya sendiri. Seperti Dagoba pernah punya karya, It’s All About Time.
Bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali kami pernah sakit dan harus menemui dokter di rumah sakit. Hanya saja saya belum pernah mempersiapkan diri bahwa tidak semua penyakit akan berakhir dengan kesembuhan dan umur yang panjang. Siapa yang bisa menerka rencana Allah sampai Dia memilih Bapak untuk berjuang melawan penyakit yang namanya saja kami tidak pernah dengar.
Perawatan Herna
Nande didampingi abang membawa Bapak untuk diperiksa beberapa dokter berbeda. Salah satu dokter tersebut merekomendasikan seorang profesor yang menurut klaim beliau adalah seorang ahli kulit senior di Medan. Krim kulit yang diresepkan beliau memang bekerja, tapi kemajuan kesehatan Bapak secara keseluruhan ya masih begitu saja. Maka yang saya ingat, kami berhenti melakukan konsultasi dengan beliau dan berikhtiar mencari kesembuhan di tempat yang berbeda.
Sebelum menjalankan perawatan dengan sang profesor, kondisi Bapak benar-benar naik-turun. Kulitnya membaik selama beberapa hari tapi tak lama kemudian justru lebih buruk dari sebelumnya; retak-retak dan mengeluarkan cairan bening kemerahan. Pernah suatu malam saat saya memberi pijatan ringan di punggung Bapak yang pasti lelah hanya bisa terbaring sepanjang waktu, cairan itu merembes ke kemeja yang dikenakannya. Jantung ini rasanya seperti pakaian basah yang diperas.
Di puncak ketidakberdayaan Bapak, Nande putuskan supaya Bapak dirawat di Herna; salah satu rumah sakit swasta di Medan yang pada waktu itu tidak menerima pasien dengan asuransi kesehatan. Kami berasumsi kebijakan tersebut sebagai jaminan tak tertulis bahwa mereka akan memberikan perawatan terbaik, di tangan dokter-dokter yang paling kompeten di bidangnya. Langkah pertama yang dilakukan setibanya di Herna adalah pemasangan CVC (Central Venous Catheters), seperti infus tapi sebenarnya kateter yang dimasukkan ke pembuluh darah besar , lalu diarahkan menuju pembuluh vena sentral yang membawa darah ke jantung. Kami memohon pada Allah Tuhan Semesta Alam, agar menggantikan sakit dan ketakutan dengan harapan dan kesembuhan.
Tiga hari pertama opname belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, tapi masalah baru justru muncul; sesak nafas. Hipoalbuminemia (kadar albumin di dalam darah di bawah normal) yang dialami Bapak juga mengharuskannya mendapat setidaknya empat botol albumin yang dialirkan melalui selang infus. Belum lagi ucapan-ucapan putus asa yang dikeluarkannya semakin menambah tekanan dan kesedihan kami. Sebisa mungkin kami yakinkan Bapak bahwa semua pasti baik-baik saja dan kalaupun belum juga membaik, sampai kapan pun itu Bapak tidak akan pernah kami biarkan menghadapinya sendirian.
Satu-satunya obat hati kami adalah krim kulit yang diracik dokter bekerja dengan sangat baik sekali sehingga kulit Bapak mulai berhenti mengelupas. Walaupun tenaganya belum juga pulih bahkan sekedar menegakkan badannya sendiri di atas ranjang pun dia tak mampu, Bapak tetap merasa seakan menemukan secercah harapan selama menjalani perawatan di Herna. Tapi biaya rumah sakit yang terus bertambah menjadi momok bagi Nande. Terlebih tidak ada yang bisa memastikan sampai kapan Bapak harus menjalani pengobatan. Nande coba meyakinkan Bapak supaya mau dipindahkan ke rumah sakit yang menerima pasien BPJS. Penolakan di awal, walau akhirnya Bapak bersedia. Perjuangan untuk kesehatan Bapak dilanjutkan ke RSUP Adam Malik Medan.
Perawatan Adam Malik
Perjuangan di Adam Malik dimulai dengan pemasangan kateter untuk mengurangi cairan berlebih dalam tubuh Bapak, dan Alhamdulillah, sesak nafasnya mulai berkurang. Sedihnya, belum sampai seminggu di Adam Malik, keadaan Bapak turun drastis sampai harus dirawat di HDU (High Dependency Unit); ruangan yang diperuntukkan bagi pasien yang membutuhkan tingkat observasi, pengobatan, dan perawatan yang lebih tinggi dari mereka yang dirawat di kamar biasa.
Keluarga pasien cuma bisa menunggu dan beristirahat di ruang terbuka yang paling dekat dengan unit. Waktu jenguk yang diizinkan juga sangat singkat, kurang lebih 30 menit untuk masing-masing pagi dan sore. Khawatirlah kalau kita dipanggil masuk di luar jadwal tersebut. Saya dan Nande tidur di tepi teras terdekat dari HDU. Dingin memang, tapi ada kehangatan yang terasa di dalam hati kami karena sedang menunggu yang terkasih. Bapak kami tersayang, yang tidak pernah bilang tidak, tapi tetap mengingatkan untuk bersabar kalau keinginan kami belum bisa dipenuhinya.
Situasi di HDU benar-benar seperti berada di atas roller coaster. Ada satu hari kami kegirangan karena Bapak bisa mengubah posisi badannya, tapi dua hari kemudian Nande berlinang air mata memanggil-manggil nama Bapak yang tak sadarkan diri. Dari HDU kami tau Bapak mengalami komplikasi; Jantung dan paru-parunya mengalami infeksi, masalah serius di lambung, dan penumpukan cairan yang memberi kami ilusi kalau berat badan Bapak mulai naik.
Seminggu dirawat di HDU, Bapak pindah lagi ke kamar biasa tapi masih hanya bisa mengkonsumsi bubur menggunakan selang. Badannya semakin kurus. Meski bisa duduk sebentar dan mengucapkan beberapa kata, Bapak lebih banyak tidur di siang hari dan gelisah di malam hari.
Minggu ke-tiga di Adam Malik, dokter melepas CVC dan kateter karena khawatir akan mengakibatkan infeksi jika dipasang terlalu lama. Infus yang baru pun dipasang di kaki dan tenaganya perlahan membaik. Bapak mulai bisa sedikit bergerak meski hanya sebatas ranjang, tapi untuk duduk dia masih belum mampu. Sampai suatu malam, Bapak membicarakan sesuatu yang sulit diterima akal kami.
Satu kali dia memperingatkan kami banjir akan datang, tak lama kemudian dia bilang pak presiden datang. Psikiater memberinya obat penenang dan menjelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi: tubuh dan pikiran Bapak sudah terlalu lelah. Bapak membutuhkan tidur nyenyak setidaknya selama tiga hari untuk menormalkan pikirannya. Bapakku sayang, yang tidak bisa lagi tidur pulas selama berbulan-bulan, akhirnya tertidur selama lima belas jam setelah diberi obat penenang.
Besoknya Bapak masih bicara tak masuk akal dan emosinya pun naik. Dia marah dan bersikeras mau pulang. Bapak lupa kalau sudah hampir sebulan penuh ia dirawat di rumah sakit. Abang berinisiatif meminjam kursi roda supaya Bapak bisa dibawa sebentar ke luar ruangan untuk menghirup udara segar. Bapak pun mulai sadar kalau kami memang di rumah sakit.
“Ayo lah kita pulang”, “Dudukkan aku di rumahku”, terus-terusan diucapkannya. Remuk redam hati ini mendengarnya karena keinginan kami supaya Bapak bisa pulang, dalam keadaan sehat tentunya, sebenarnya jauh lebih besar dari inginnya Bapak.
Dokter Mengizinkan Pulang
Alhamdulillah, setelah sebulan penuh dirawat, tiba masanya dokter mengizinkan kami pulang dengan catatan Bapak tetap harus menjalani rawat jalan secara rutin. Bapak senang sekali bisa pulang ke rumahnya dan bisa makan masakan Nande lagi. Bapak kesulitan jalan ke kamar mandi tapi abang saya sempatkan bercanda membopongnya dengan cara seakan mereka sedang bermain kereta api. Tubuhnya sungguh lemah tapi terlihat jelas kenyamanan di wajahnya. Terbiasa dengan AC di kamar inap rumah sakit, Bapak minta supaya Nande juga memasang AC di rumah kami.
Kembali Lagi ke Adam Malik
Qadarullah, Bapak lebih lemah dari yang sudah sudah. Dia tidak bersuara dan terlalu lemah untuk membalas sapaan siapa saja. Nande coba tarik perhatian Bapak, bertanya jadi tidak AC-nya dipasang. Namun Bapak tam mampu untuk sekedar mengiyakan. Selasa pagi, 7 Juli 2015, dengan menyewa ambulans dari rumah sakit kecil di dekat rumah, kami membawa Bapak ke Adam Malik. Masih jelas sekali, saat Nande coba mengganti pakain Bapak, Bapak meletakkan kepalanya di bahu ini untuk terakhir kali dan dia pun menangis.
Sesampainya di Adam Malik, Bapak langsung diterima di IGD. Setelah dokter selesai memeriksa, seluruh anggota keluarga dipanggil untuk mendengar penjelasan soal keadaan Bapak yang sebenarnya. Dokter bilang, bakteri sudah memasuki darahnya. Normalnya jumlah bakteri dalam tubuh manusia berkisar antara 7 sampai 11 ribu, tapi yang ditemukan dalam tubuh Bapak sudah mencapai angka 33 ribu. Sekalipun diberi antibiotik, tetap saja akan dikonsumsi oleh bakteri-bakteri itu. Dokter hanya menghaluskan fakta yang sebenarnya dengan berkata kondisi Bapak benar-benar serius dan semoga masih ada keajaiban.
Dokter lanjut menerangkan kalau organ dalam Bapak sudah mulai berhenti bekerja dan jumlah albuminnya terus menurun. Tapi kami masih saja seakan memejamkan mata dan menutup telinga. Kami benar-benar masih berharap Allah akan hadiahkan kesembuhan dan umur yang panjang pada Bapak kami tersayang. Mata tertutup Bapak meneteskan air mata dan ku bisikkan di telinganya, “gak apa-apa, Pak. Gak apa-apa”
Menuju Imelda
Dokter mengharuskan Bapak dirawat di ICU tapi Qadarullah baik Adam Malik dan beberapa rumah sakit lain yang menerima asuransi kesehatan yang dihubungi, ICU mereka sudah diisi penuh pasien. Kembali ke Herna dengan segala biayanya juga masuk ke dalam pertimbangan sampai kami terima kabar kalau ada tersisa satu tempat tidur di ICU rumah sakit Imelda. Nande setuju dan dengan segala rintangan untuk sampai Imelda, kurang dari lima belas menit ditangani dokter di UGD, dan tidak lebih dari 10 menit di ICU, dokter menyatakan Bapak sudah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali
0 comments