Kita Tak Sepenting Itu

Kadang saya berpikir, mungkin sebenarnya orang yang tidak percaya diri itu adalah orang yang terlalu percaya diri. Lho, kok bisa? Ya, karena mereka—atau mungkin kita—merasa semua mata akan tertuju dan menghakimi setiap langkah yang diambil. Padahal, ini adalah bukti bahwa kita sebenarnya tidak sepenting itu di mata orang lain.

Dulu, saya termasuk tipe orang yang minderan. Apa-apa selalu khawatir. Takut salah, takut kelihatan aneh, atau takut dianggap “beda.” Dalam pikiran saya, orang-orang di sekitar pasti memperhatikan dan menilai, bahkan lewat tatapan sekilas. Hasilnya? Saya sering melewatkan banyak kesempatan berharga.

Misalnya, ketika diminta jadi Ketua Panitia sebuah acara. Bukannya merasa bangga diberi kepercayaan, saya malah sibuk berpikir, “Bagaimana kalau nanti saya salah? Apa kata orang nanti?” Alhasil, saya memilih mundur. Sama halnya ketika ada kesempatan menyampaikan pendapat mewakili kelompok. Alih-alih tampil percaya diri, saya pura-pura sibuk mencatat—padahal isi catatannya cuma coretan nggak jelas.

Bahkan, ketika diminta jadi Ketua kelompok penelitian—yang sebenarnya sudah “template” buat seorang dosen—saya tetap saja takut. Bayangan gagal, kritik, atau sekadar merasa tidak cukup baik, selalu membayangi. Rasanya seperti ada suara kecil di kepala yang berkata, “Ah, kamu nggak bakal bisa.”

Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, apa iya semua orang benar-benar peduli pada setiap langkah saya? Kalau saya membuat kesalahan kecil, akankah itu jadi pembicaraan sepanjang masa? Jujur, semakin dewasa, saya makin yakin: ternyata tidak. Orang-orang, sejujurnya, sibuk dengan hidup mereka sendiri. Jadi, mungkin sebenarnya saya yang terlalu percaya diri kalau berpikir semua orang begitu peduli pada saya. Lucu juga, kan? Saya minder karena merasa terlalu penting di pikiran orang lain. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Akibat rasa tidak percaya diri yang nggak ketulungan, saya pernah bertindak sok misterius. Semua hal saya sembunyikan atas nama privasi. Padahal, jujur saja, aslinya itu cuma tameng untuk menutupi rasa minder. Saya takut orang tahu sisi saya yang mungkin dianggap kurang.

Masalahnya, di saat saya sibuk menyembunyikan diri, orang-orang lain justru dengan santainya membagikan pencapaian mereka. Pamer sertifikat, jabatan baru, atau hal-hal yang buat saya terasa seperti bintang di langit—jauh dan mustahil diraih. Bukannya memotivasi, itu malah bikin saya semakin merasa kecil. Alih-alih semangat mengejar, saya malah makin tenggelam dalam perasaan tak berdaya.

Sampai akhirnya datang momen tak terhindarkan: saya harus memaksa diri untuk berani tampil. Tidak ada pilihan lain, saya harus melangkah. Tapi apa yang terjadi? Ketakutan terbesar saya terwujud. Saya benar-benar melakukan kesalahan. Bukan kesalahan kecil yang bisa ditutup senyum canggung, tapi kesalahan yang berdampak ke banyak orang.

Saat itu, rasanya seperti dunia runtuh di atas kepala saya. Saya khawatir luar biasa. Pikiran saya melayang ke skenario terburuk: bagaimana kalau ini semua tidak berhasil gara-gara saya? Bagaimana kalau saya jadi alasan harapan semua orang kandas? Rasa bersalah itu menghantui saya.

Dan seperti yang sering terjadi, saya pun terjebak dalam siklus overthinking. Saya menyesal habis-habisan, berpikir mungkin saya seharusnya tetap bersembunyi saja. Toh, kalau tidak mencoba, saya juga tidak akan bikin kekacauan, kan? Tapi setelah saya tenang dan melihat situasinya dengan lebih jernih, saya sadar bahwa ketakutan dan penyesalan ini adalah bagian dari perjalanan belajar saya.

Entah karena rasa penasaran atau sekadar lelah dengan asumsi yang selalu berputar di kepala, akhirnya saya memberanikan diri bertanya langsung pada orang-orang di sekitar. “Apa yang kalian pikirkan tentang saya ketika saya melakukan ini atau itu?” Awalnya saya ragu, takut jawabannya malah bikin hati semakin ciut. Tapi, toh saya sudah di titik di mana segala kemungkinan lebih baik daripada terus menerka-nerka.

Dan ternyata, jawaban mereka cukup mengejutkan. Beberapa orang bilang, “Oh, saya nggak nyangka kamu bisa sebagus itu!” Mendengar itu, jujur ada perasaan campur aduk. Antara lega karena ternyata saya tidak seburuk yang saya kira, dan sedikit bingung, “Lho, kok malah nggak nyangka?”

Lebih menarik lagi, ada juga yang dengan santai menjawab, “Sebenarnya, saya nggak terlalu memperhatikan sih, jadi nggak tahu mau kasih komentar apa.” Jawaban ini mungkin terdengar biasa saja, tapi bagi saya cukup menampar. Selama ini saya terlalu sibuk berpikir bahwa semua orang mengawasi dan menilai saya. Padahal, kenyataannya mereka punya hidup mereka sendiri, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing untuk peduli pada detail langkah-langkah saya.

Ironis, ya? Sesuatu yang selama ini saya takuti ternyata hanya ada di kepala saya. Dan di momen itu, saya sadar: mungkin memang saya harus mulai melepaskan kebiasaan membebani diri sendiri dengan ekspektasi yang bahkan tidak pernah ada.

Sepertinya, apa yang saya alami ini disebut spotlight effect. Sebuah fenomena psikologi di mana seseorang cenderung melebih-lebihkan perhatian orang lain terhadap dirinya. Singkatnya, kita merasa jadi pusat dunia, seolah-olah semua mata tertuju pada kita.

Saya sering merasa begitu. Setiap kali melakukan sesuatu, baik yang benar apalagi yang salah, pikiran saya langsung membayangkan semua orang memperhatikan, menilai, bahkan menghakimi. Padahal kenyataannya, hidup ini bukan panggung drama dengan saya sebagai aktor utama. Orang-orang di sekitar kita, mereka juga sibuk menjalani hidup mereka sendiri.

Dan inilah fakta pahitnya: kita tidak sepenting itu. Apa yang kita pikir menjadi bahan perhatian besar bagi orang lain, sebenarnya hanyalah momen singkat yang nyaris tidak diingat. Lucunya, butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari ini. Namun, setelah memahaminya, rasanya seperti beban berat yang perlahan mulai terangkat.

Jadi, mungkin pelajaran paling berharga dari spotlight effect ini adalah menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu tentang kita. Dan itu bukan hal buruk. Justru, ini memberi kita ruang untuk bernapas dan menjalani hari tanpa perlu terus-menerus merasa berada di bawah sorotan lampu panggung.

Pada akhirnya, hidup bukan tentang menjadi sempurna di mata orang lain. Ketakutan, kesalahan, dan rasa minder adalah bagian dari proses menjadi manusia. Kita sering lupa bahwa dunia ini penuh dengan orang-orang yang sama-sama berjuang, sama-sama khawatir, dan sama-sama sibuk dengan urusannya masing-masing.

Jadi, daripada terus terjebak dalam rasa takut yang sebenarnya hanya ada di kepala kita sendiri, mengapa tidak mencoba untuk melangkah lebih ringan? Lepaskan beban yang sebenarnya tak perlu kita pikul, dan fokuslah pada apa yang benar-benar penting: belajar, tumbuh, dan berbagi.

Karena pada akhirnya, hidup tidak menuntut kita untuk sempurna. Hidup hanya meminta kita untuk hadir—dan berani melangkah, meskipun kadang salah.

0 comments