Kembali ke Halaman yang Terlupakan

Katanya, semakin bertambah usia, kita akan kehilangan banyak minat terhadap hal-hal yang dulu begitu menarik dan menyenangkan. Saya pun merasakannya sendiri. Dulu, menulis blog adalah salah satu hal yang paling saya gemari—tempat di mana saya bisa berbagi cerita, pikiran, dan perasaan tanpa batas.
Tapi, waktu seolah punya caranya sendiri untuk mencuri perhatian kita. Semakin hari, tanggung jawab bertambah banyak, tugas-tugas tak ada habisnya, dan saya mulai menganggap waktu senggang sebagai momen untuk rebahan dan bermalas-malasan. 'Istirahat,' begitu saya menyebutnya, tapi sering kali itu hanya alibi.

Dan kini, saat saya melihat kembali ke masa-masa itu, ada rasa sesal yang pelan-pelan menyelinap. Banyak momen indah, kenangan berharga, dan cerita kecil yang dulu ingin saya ceritakan, kini hanya tersimpan di ingatan—sayangnya, sebagian mulai memudar. Saya terlalu lelah untuk menuliskannya, terlalu sibuk untuk mengabadikannya.

Menulis blog adalah cara saya merayakan hidup, dan ketika saya berhenti, rasanya ada bagian dari diri yang hilang. Sekarang, saya mencoba berdamai dengan waktu, mencoba menghidupkan kembali semangat yang dulu sempat meredup. Karena pada akhirnya, menulis bukan hanya tentang berbagi cerita dengan dunia, tapi juga tentang menjaga diri saya tetap utuh.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya hanya perlu mengetikkan beberapa kalimat singkat untuk mengabadikan momen-momen berharga. Sesederhana itu, tapi entah mengapa terasa begitu sulit. Ada begitu banyak alasan untuk berhenti, untuk tidak melanjutkan bercerita.

Selain malas—alasan yang paling sering muncul—saya juga sering dihantui pertanyaan-pertanyaan yang menurunkan semangat saya. Apa gunanya? Memangnya siapa yang peduli? Kalaupun ada yang membaca, apa manfaatnya untuk mereka?

Pikiran-pikiran itu seperti tembok yang menghalangi keinginan diri. Saya lupa bahwa menulis bukan soal siapa yang membaca atau apa dampaknya bagi orang lain. Menulis adalah tentang saya, tentang bagaimana saya menghargai setiap momen dan memberinya tempat untuk hidup lebih lama, lebih nyata.

Setiap cerita yang saya tulis adalah dialog kecil dengan diri saya sendiri—sebuah pengingat bahwa saya pernah melalui hari-hari yang berharga, penuh warna. Dan meskipun kadang ragu, saya tahu bahwa cerita-cerita ini punya makna, setidaknya untuk saya sendiri.

Padahal, saya sendiri merasakan betapa berharganya cerita-cerita itu. Saat saya punya waktu senggang dan mulai membaca ulang tulisan-tulisan lama, rasanya seperti menaiki mesin waktu. Saya dibawa kembali ke momen-momen itu—momen yang mungkin sudah lama berlalu, tapi masih begitu jelas saat dibaca kembali.

Ada rasa yang sulit dijelaskan. Hati saya tersayat ketika mengingat cerita-cerita yang penuh duka, mengingat betapa beratnya saat itu. Namun, saya juga menemukan senyum saya sendiri saat membaca kisah-kisah bahagia, saat-saat di mana saya begitu penuh semangat dan harapan.

Dan di tengah-tengah itu semua, saya menyadari satu hal: hidup ternyata tak sesederhana yang sering saya pikirkan. Tidak monoton, tidak kosong. Tulisan-tulisan itu adalah bukti bahwa saya telah melalui banyak hal—pahit dan manis, senang dan sedih. Mereka menjadi cermin kecil yang mengingatkan bahwa hidup saya penuh warna, bahkan ketika saya lupa untuk menyadarinya.

Lagi pula, menulis itu tidak harus tentang cerita hebat atau peristiwa besar. Kadang, justru hal-hal sederhana yang paling berharga untuk diabadikan. Ada begitu banyak pelajaran dan kenangan indah yang bisa kita petik dari momen-momen kecil yang sering terlewat.

Sesederhana memandang langit dari balik jendela pesawat—menyaksikan kumpulan awan yang tampak seperti lukisan Tuhan, terasa begitu menenangkan. Atau sesederhana bertemu orang-orang baru yang baik, yang mungkin hanya singgah sebentar dalam hidup kita tapi meninggalkan kesan yang begitu hangat.

Bahkan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya pun, rasanya istimewa. Ada keajaiban tersendiri dalam kesederhanaan momen-momen itu, seperti sebuah pengingat bahwa hidup tidak melulu tentang pencapaian besar, tapi juga tentang menikmati detail kecil yang sering kali kita abaikan.

Saya memutuskan untuk menulis lagi. Di halaman ini, tapi kali ini menggunakan bahasa saya sendiri—bahasa Indonesia. Sebelumnya saya selalu menulis dalam bahasa Inggris. Bukan karena saya terlalu percaya diri, tapi karena saya malu. Saya takut kalau ada orang yang saya kenal membaca tulisan saya. Rasanya aneh dan canggung jika mereka tahu apa yang saya pikirkan atau rasakan.

Tapi kemudian, setiap kali saya memeriksa statistik pengunjung blog ini, saya malah dibuat bingung. Banyak sekali pengunjung asing yang entah bagaimana sampai di blog ini. Saya sering bertanya-tanya, apa yang mereka pikirkan? Apa manfaatnya membaca tulisan tentang hidup seseorang yang sama sekali tidak mereka kenal, tentang topik yang mungkin asing bagi mereka?

Kadang, saya bahkan merasa kasihan. Mungkin mereka hanya tersesat di luasnya lautan dunia maya, terdampar di blog kecil ini karena pencarian mereka yang salah arah. Ironisnya, di tengah rasa malu dan kebingungan, saya justru mulai merindukan kejujuran yang dulu saya bagikan di sini. Dan kini, saya ingin menulis lagi, dengan lebih jujur, lebih santai, dan tanpa banyak berpikir siapa yang akan membaca.

Untuk kalian, para pembaca asing yang entah bagaimana tetap kembali ke blog ini—beberapa kali bahkan terlihat mengetikkan alamat blog ini langsung di mesin pencarian. Saya benar-benar terkejut sekaligus tersentuh. Artinya, kalian memang sengaja ingin diarahkan ke sini, ke halaman kecil di sudut dunia maya ini.

Terima kasih, ya. Saya tidak tahu apa yang membuat kalian kembali, tapi saya benar-benar menghargainya. Mungkin, di antara cerita-cerita sederhana yang saya tuliskan, ada sedikit hiburan, pelajaran, atau bahkan pengingat kecil yang bisa kalian petik.

Saya hanya berharap halaman ini, sekecil apa pun, bisa menjadi tempat singgah yang menyenangkan—meski hanya sesaat—di tengah perjalanan kalian yang entah membawa ke mana.

Tapi kali ini, saya ingin menulis lagi dengan menggunakan bahasa Indonesiaku. Selama ini, saya begitu mati-matian mempelajari bahasa asing, sampai saya lupa betapa indahnya bahasa ibu saya sendiri. Bahasa yang menyimpan begitu banyak rasa, yang selalu bisa membungkus cerita dengan hangat.

Saya rindu menulis dengan kata-kata yang benar-benar bisa saya pahami sepenuhnya, kata-kata yang terasa dekat dan akrab. Saya ingin cerita saya dibaca oleh mereka yang mengerti bahasa saya, yang mungkin merasakan hal yang sama, atau sekadar ingin tahu sudut pandang saya tentang kehidupan.

Bahasa Indonesia adalah bagian dari diri saya yang tak tergantikan. Dan menulis dalam bahasa ini, bagi saya, seperti pulang ke rumah—tempat di mana saya bisa menjadi diri saya sendiri, tanpa perlu repot menerjemahkan rasa ke dalam bahasa lain.

Menulis adalah perjalanan. Kadang saya berhenti di tengah jalan, kadang saya lupa arah, tapi saya selalu menemukan alasan untuk kembali. Lewat tulisan-tulisan sederhana ini, saya ingin merekam hidup saya—tidak untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri.

Jika ada yang mampir dan menemukan sedikit hiburan, pelajaran, atau sekadar teman dalam cerita-cerita ini, saya merasa lebih dari cukup. Terima kasih telah singgah, semoga kalian juga menemukan keindahan dalam cerita kecil kalian sendiri.

0 comments