Ayam Goreng KFC

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang sederhana, sedari kecil saya sudah terbiasa dan menganggap wajar jika tidak mengikuti tren yang sedang digandrungi banyak orang. Teman saya ada yang bermain sepatu roda, ada yang menaiki scooter, ada yang mendengarkan musik dari walkman, dan tidak sedikit yang mahir memainkan stick playstation, sedangkan saya tidak. Saya ingat betul kalau saya cukup senang ketika sesekali diizinkan memainkan benda-benda itu ketika berkumpul di rumah mereka. Tapi saya tidak pernah meminta orang tua saya supaya membelikan saya mainan serupa. Bisa jadi saya sendiri tidak terlalu terobsesi, atau justru didikan orang tua saya yang tanpa saya sadari sudah tertanam betul di dalam diri.

Bapak dan Nande selalu membiasakan kami untuk membeli sesuatu yang memang sangat dibutuhkan atau sesekali yang memang sangat diinginkan, tanpa mengabaikan nilai kemanfaatannya. Bukan bermaksud mengatakan kawan-kawan saya disuguhi benda-benda yang tak berguna oleh orang tuanya, tapi benda-benda seperti itu memang masuk kategori objects that never existed alias benda yang tidak pernah ada di rumah kami.

Mungkin juga karena Bapak dan Nande tidak pernah menunda-nunda dalam memenuhi yang memang sangat kami butuhkan terutama pangan, pakaian dan tentunya pendidikan. Buku pelajaran dan perlengkapan alat tulis kami selalu baru di tiap pergantian tahun ajaran dan SPP selalu dibayar lunas di awal pembelajaran. Akomodasi pergi dan pulang ke dan dari sekolah disediakan antar-jemput bulanan. Pakaian, tas dan sepatu kami selalu dalam kondisi yang sangat layak. Belum lagi uang saku juga cukup padahal sebelum berangkat sekolah, sarapan sudah disajikan.

Kondisi keuangan keluarga kami bisa dikatakan tidak kekurangan, tapi tidak juga berkelebihan. Ada waktunya kami menikmati liburan, tapi yang memang pengeluarannya masih terhitung wajar. Kami juga dibelikan mainan, tapi memang tidak semahal yang diterima teman-teman kami dari orang tua mereka.

Tempat tinggal kami yang cukup jauh dari ibu kota provinsi rasanya juga berandil besar atas kurangnya obsesi yang saya miliki. Walau kalau dipikir-pikir, hal itu justru baik. Karena semakin banyak hal baru yang saya lihat, bisa dipastikan akan semakin banyak tuntutan saya ke orang tua. Cukup lah iklan-iklan di TV yang menjadi pemicu lahirnya imajinasi.

Salah satu imajinasi saya adalah bisa menikmati ayam goreng KFC yang sebelumnya hanya bisa saya lihat dari iklan di TV. Sekali lagi, bukan orang tua saya tidak mampu dan mau mengeluarkan uang untuk sesekali menikmati ayam goreng KFC. Untuk ke gerai KFC terdekat waktu itu membutuhkan waktu hampir setengah jam. Dengan hanya sebuah sepeda motor yang keluarga kami miliki, sungguh sangat tidak masuk akal bagi Nande kalau kami harus naik angkot sekeluarga hanya untuk menyicipi ayam yang digoreng dengan baluran tepung dan yang katanya, plus bumbu rahasia. Apalagi memang tidak ada keperluan mendesak yang harus dipenuhi di tempat yang dekat dengan gerai.

Walaupun tidak terlalu kepingin mencoba makanan-makanan baru, tetap saja semangat itu selalu muncul begitu ia berada di depan mata. Ketika saya menikmati ayam goreng KFC untuk pertama kali, sensasinya masih teringat hingga kini. Kala itu, menikmati ayam goreng KFC benar-benar pengalaman baru bagi saya. Ayamnya dipesan sambil kita berdiri memilih menu di depan kasir. Piring saji kita bawa sendiri ke meja dan sebelum makan, harus cuci tangan dulu di wastafel yang terpasang kaca di depan kita berdiri. Saya bergumam dalam hati, "Ini ayam yang ada di TV", sambil makan sedikit demi sedikit karena cemas ayam gorengnya terlalu cepat habis.


0 comments