Seporsi Burger yang Menyajikan Cerita Berbeda

Makanan bukan hanya masakan yang berakhir di perutmu, melainkan sebuah petualangan yang patut dinikmati dan dihargai. – Winda Krisnadefa
Selain ayam goreng KFC, burger juga termasuk jenis fast food lain yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di iklan. 2005 sampai 2008 adalah tahun saya sebagai seorang remaja yang tinggal di pinggiran kota setelah pindah dari perumahan di sebuah perkebunan kakao milik pemerintah yang jaraknya lebih jauh lagi ke ‘dalam’. Waktu itu saya belum kenal media sosial dan teman-teman saya yang sudah lebih dulu terjun, kebanyakan merasa malu mencantumkan kota kami di profil Facebook mereka.

Kakak saya yang sudah berstatus sebagai seorang mahasiswa di Medan selalu saja menceritakan apa saja hal baru yang dilakukannya termasuk bercerita tentang jenis makanan yang belum pernah saya cicipi sebelumnya. “Aku makan ini kemarin. Enak, lho.”, katanya sambil menunjukkan foto burger di layar handphonenya. Saya pun hanya bisa menanti dia menepati janjinya untuk mentraktir saya makanan serupa.

Ketika waktu yang dinanti tiba dan dengan bersepeda motor sampai lah kami memesan burger di Rumah Blepots Medan. Kakak saya bilang porsinya terlalu besar untuk dihabiskan sendirian, jadi berbagi menjadi solusi terbaik. Burgernya enak, tapi ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. Kakak saya yang menepati janjinya dan saya yang sudah lama menanti pengalaman pertama menikmati seporsi burger, menambahkan suatu rasa yang tidak terdeteksi oleh indra pengecap.

Ketika giliran saya yang memasuki dunia kampus, bersama beberapa teman saya menyewa rumah di Medan. Situasinya pun berbeda. Makanan populer dan kafe tematik tidak lagi bernilai istimewa dan langka bagi saya. Kemudahan dan kesulitan dalam memperolehnya memang benar akan mempengaruhi nilai sesuatu di mata kita. Tempat-tempat bermain baru, jenis-jenis makanan baru, semua terasa spesial hanya karena jarak saya yang terlalu jauh sebelumnya, terlebih saya belum punya uang sendiri. Setelah semakin dekat dan berpenghasilan, ya, semakin biasa saja.

Awal 2015 tidak lama setelah pernikahan kakak saya berlangsung, Almarhum Bapak mulai sakit keras dan di awal Juli, beliau meninggalkan kami untuk selamanya. Segala usaha terbaik yang kami bisa sudah diupayakan, namun Allah berkehendak lain. Selama hampir dua bulan penuh dirawat di rumah sakit, kami bergantian menemani Nande merawat Bapak. Selama proses penyembuhannya, saya yang paling sedikit menemani Bapak karena selain mengajar di dua institusi pendidikan berbeda, saya juga sedang menjalani kuliah saya di pasca sarjana yang baru masuk semester ke dua. Hanya beberapa hari dalam seminggu saya bisa menghabiskan waktu dengan orang tua saya di rumah sakit.

Kesedihan dan pengharapan untuk kesembuhan Bapak yang tak berhenti hadir di siang dan malam kami, benar-benar mengurangi nafsu makan saya. Saya makan hanya supaya saya tetap bisa menegakkan punggung dan melanjutkan aktifitas. Karena rumah juga menjadi tanggung jawab penuh saya untuk menjaganya. Tanpa sadar saya menolak segala yang menimbulkan rasa senang dan tawa. Rasanya berdosa besar kalau saya makan enak sementara Bapak makan bubur lewat selang dan Nande makan nasi dingin di rumah sakit. Perasaan bersalah itu terus berlanjut hingga akhirnya Bapak kembali ke Pangkuan Ilahi.

Sampai di satu Rabu setelah dua bulan dari duka kami, dua dosen tidak hadir seperti biasa. Teman-teman wanita terbaik saya dari LTBI mengajak makan di luar. Sebelumnya saya hanya bisa tersenyum tipis di depan orang banyak dan terkadang harus menahan air mata supaya tidak meleleh ketika sendirian di tengah keramaian. Tapi kali itu saya pun sadar, hidup harus tetap berlanjut dan tidak ada pilihan selain mendorong diri untuk perlahan bangkit dari kesedihan.

Dimana kami makan? Rumah Blepots! Saya pun memesan menu yang sama seperti pertama kali kesana dengan kakak saya. Rasanya tak berubah tapi sensasinya yang berbeda. Pada gigitan pertama saya berbisik pada diri sendiri di dalam hati, menikmati makanan sehat dan enak ditemani tawa ringan dengan sahabat terbaik bukan lah sebuah tindakan kriminal. Ini pasti salah satu harapan Bapak; putrinya hidup sehat dan bahagia.

Di penghujung 2018 yang lalu saya dan Fani, teman karib saya dari kuliah di jurusan Sastra Inggris sama-sama menguji keberuntungan kami di seleksi penerimaan CPNS. Hasil tes kami pun sama, bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya di Seleksi Kemampuan Bidang. Bedanya, saya mencoba di Kementerian Agama dan Fani mencoba di Badan Pemeriksa Keuangan. Fani berjanji, kami lulus atau tidak dia akan tetap mentraktir saya makan siang di tempat pilihan saya. Dan pilihan saya adalah Rumah Blepots. Tidak bisa dipastikan juga apa alasan saya kembali lagi ke rumah makan burger a la rumahan itu. Seperti terucap secara spontan saja untuk mengajaknya kesana.

Seperti yang sudah kami duga, kami sama-sama gagal di seleksi kemarin tapi kami tetap bersyukur untuk kesempatan dan pengalaman yang sudah dijalani. Burger sebagai menu makan siang kali ini adalah perayaan sederhana kami untuk kesuksesan yang tertunda tibanya.

0 comments