Gobir

Di setiap lingkaran pertemanan yang saya miliki sejak duduk di bangku sekolah dasar, pasti selalu ada setidaknya satu sahabat yang bisa tertawa terpingkal hanya dengan sebuah humor ringan. Untuk tertawa saja, dia perlu mengupayakan usaha maksimal untuk mengendalikan nafas dan bicara yang sudah sulit dipahami kata per katanya. Itu karena dia merasa, saking lucunya. Tawanya menularkan senyum bahkan kadang membuat yang melihat tidak tahan untuk tidak tertawa. Padahal sesekali, humor yang diceritakan justru tidak menggelitik sama sekali.

Kalau ingin menceritakan hal lucu atau memalukan, belum pas rasanya kalau beritanya belum sampai pada si kawan. Soalnya ekspresi wajah dan tawanya seakan memberi apresiasi tertinggi pada yang bercerita. Kadang malah kita sengaja mencari cerita lucu atau hal serius yang diberi kesan lucu, cuma supaya bisa melihat dia ketawa.

Tipe teman seperti itu yang terkini saya miliki adalah yang juga menjadi teman serumah saya di awal-awal tinggal di Mandailing Natal. Selain caranya tertawa yang selalu saja ikonik, pemilihan kosa katanya ketika mengobrol baik soal serius atau hal-hal seru pun selalu membuat saya berpikir, wah, memang ada, ya, kombinasi istilah yang barusan diucapkan kawan saya ini; saking baru pertama kalinya saya dengar.

Terbuka. Itu lah sifat serupa yang selalu dimiliki sahabat-sahabat saya dengan tipe seperti itu. Untuk teman yang satu ini pun, hampir tidak ada yang kami tidak ketahui soal diri dan kehidupannya. Bukan kami yang bertanya, tapi memang prinsipnya bahwa masalah hanya akan bertambah semakin pelik kalau tidak diceritakan. Ditambah kami pun memang kelompok kecil yang berisi perempuan-perempuan yang doyan bicara. Satu topik pembicaraan sering kali tidak tuntas karena di tengah obrolan, pasti bercabang ke pembahasan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya. Semua sebatas karena kami senang bicara.

Bicara soal keluarga, tentang perilaku orang-orang yang diam-diam kami perhatikan, tentang makanan yang kami pesan, tentang kerjaan yang kadang kami anggap sebagai beban tapi lebih sering menyenangkan, juga tentang masa kuliah dulu.

Cerita di bangku pascasarjana yang diceritakan teman saya dengan tawanya yang khas kami nobatkan sebagai cerita terbaik versi kami. Dia bercertita tentang salah satu dosennya di Pascasarjana yang selalu berbicara dengan logat Bataknya yang khas. Pernah satu hari mereka ditegur karena beliau anggap terlalu berisik. Kurang lebih sang dosen berkata, "Saya mendengar suara-suara. Saya yakin itu aroma hawa. Kalau memang tidak bisa tenang kalian, gosok-gosokkan bibir kalian ke dinding!"

Seumur hidup, baru dari cerita teman ini saya saja kami tau ada teguran untuk menggosokkan bibir ke dinding bagi kaum hawa yang tidak tahan kalau tidak terus-terusan bicara. Tapi bukannya merasa tersindir, kami malah seperti melihat diri kami sendiri dan sepakat teguran itu cocok untuk kami.

Gosokkan bibir! Gobir!

Sejak itu kami pun menyebut kelompok kami Gobir, disahkan ketika dibuka lah grup WhatsApp dengan nama Go Beeer. Seperti tidak pernah kehabisan bahan, di grup chat pun kami seperti mengunyah alfabet. Segala hal dibahas. Dari yang kurang penting sampai yang sangat genting, tidak ada yang luput dari pembahasan. Gobir sendiri jadi wadah berbagi, mencari, dan memberikan solusi untuk setiap masalah yang terkadang tidak bisa diceritakan bahkan kepada saudara dan orang tua sendiri. Walaupun sering kali masalah yang dibahas justru berakhir tanpa pemecahan.

0 comments