Bukan Puncak Gunung Sorik Marapi

Beberapa waktu lalu saya berceletuk soal foto-foto beberapa teman yang dikirim ke grup chat kami. Karena sama-sama setuju tempat yang mereka kunjungi kelihatannya menarik, kami pun sepakat untuk pergi ke sana juga.

Usut punya usut, ternyata itu adalah sumber air panas Sibanggor, di Sibanggor Julu, kecamatan Puncak Sorik Marapi. Dengan bersepeda motor kami menuju tempat yang dimaksud. Cukup jauh ternyata, kurang lebih satu jam perjalanan dari kota Panyabungan.

Semakin ke atas, pemandangan yang disajikan benar-benar berbeda dari yang biasa kami lihat di kota. Di kota Panyabungan, ketika awal datang ke sini saja saya sempat kagum dengan keberadaan sawah di tengah kota. Kita pun bisa melihat dengan jelas deretan bukit barisan dari tengah kota. Ke lokasi tujuan kami ini ternyata kami bukan melihat gunung atau bukit dari kejauhan, tapi mendatangi bagian dari gunung itu sendiri.

Saat saya melihat sebuah konstruksi industri yang tidak pernah saya duga ada di kabupaten ini, saya benar-benar terkejut sekaligus takjub. Ternyata kabupaten ini tidak setradisional yang saya selalu pikirkan. Adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi yang saya maksud. Saya bertanya-tanya sendiri karena saking tidak pahamnya, kemana hasil pembangkit listrik ini diberdayakan? Siapa pemilik dan pengembang perusahaannya? Keberadaannya mendukung kemakmuran masyarakat setempat atau justru sebaliknya?

Belum selesai saya mewawancarai diri sendiri, tiba lah kami di sebuah gapura yang bertuliskan selamat datang di kecamatan Puncak Sorik Marapi. Wah, sudah sampai, pikir saya. Tapi ibarat rumah, ternyata kami masih memasuki pagarnya saja. Belum sampai ke tujuan yang sebenarnya.

Kampung Tradisional Sibanggor Julu

Tidak jauh berkendara dari gapura sambutan tadi, kami memasuki sebuah kampung tradisional yang hampir keseluruhan rumahnya memakai ijuk sebagai atap. Terletak di kaki Gunung Sorik Marapi, cuaca di kampung ini sangat sejuk bahkan termasuk dingin. Menurut informasi, ijuk ini selain sebagai kebiasaan warisan leluhur juga mempunyai fungsi lain sesuai dengan tempat keberadaannya.

Ijuk terbukti lebih mampu bertahan dari hujan debu belerang ketimbang atap yang terbuat sari seng atau plat besi. Selain itu, kabarnya atap ijuk mampu menjaga penghuni rumah tetap hangat di saat musim hujan, dan tetap dingin di saat musim kemarau. Bijaksana sekali, ya, para leluhur kita yang sudah mewariskan kearifan lokal untuk melindungi kita dari kekuatan alam dengan bersahabat bersama alam itu sendiri.

Puas menikmati deretan rumah tradisional, kami pun melanjutkan perjalanan. Memilih sebuah rumah yang bisa kami percaya untuk menitipkan sepeda motor, seorang gadis remaja yang tinggal disitu pun kami ajak untuk menjadi pemandu kami ke sumber air panas Sibanggor.

Cukup sekali ke sumber air panas itu sebenarnya kita tidak terlalu membutuhkan pemandu jika ingin berkunjung kembali di lain waktu. Tapi setelah menyelesaikan pendakian, saya putuskan kemarin akan menjadi satu-satunya kunjungan saya.

Trek yang dilalui tidak terlalu sulit, bahkan kita tidak membutuhkan peralatan khusus karena media jalannya cukup ramah bagi pendaki rookie seperti kami. Bahkan saya sebenarnya malu menyebut kegiatan kami itu sebagai sebuah pendakian karena yang kami lakukan hanya berjalan lurus di atas tapak jalan yang sudah dibentuk oleh masyarakat yang berkebun di antara lahan di kaki gunung.

Tidak perlu khawatir nyasar sebab jalannya yang satu arah dan tidak ada jalan bercabang yang mungkin bisa membingungkan. Untuk sampai di pusat air panas pun kami hanya perlu berhenti sekali untuk beristirahat sejenak dan minum beberapa teguk air yang sudah kami siapkan sebelum naik. Yang membuat saya jera hanya satu: kegiatan ekstrem yang menyita hampir seluruh tenaga saya seperti ini ternyata bukan hal yang bisa saya nikmati.

Kami harus menyeberangi sungai dengan titi kecil yang terbuat dari lembaran batang pohon. Saking kecilnya, titi itu cuma bisa menopang satu tapak kaki. Butuh keseimbangan yang bagus ketika berjalan diatasnya kalau tak ingin terjebur ke air di bawahnya. Lalu kami harus melewati jalan yang berada dekat sekali dengan lembah di tepinya, kemudian membelah lorong semak-semak yang tumbuhannya jauh lebih tinggi dari Kak Ade, orang tertinggi di kelompok kami. Lagu latar Ninja Hatori yang mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah .. ðŸŽ¶ seakan muncul ke dalam realita di hadapan mata saya.
Airnya kelihatan menyejukkan padahal suhunya hangat. 
Berulang kali saya tanya pemandu kami berapa lama lagi kami akan sampai. Jawabannya selalu sebentar lagi tapi, toh, kami tidak kunjung tiba di tujuan. Saya mulai kesal tapi tidak mungkin berhenti sendirian. Apalagi di dataran tinggi seperti ini lumrah sekali hujan datang tanpa aba-aba. Awalnya gerimis kecil, tapi kami takut kebasahan. Maka kami percepat langkah kaki. Semakin cepat kami melangkah, semakin tersiksa lah saya dengan tenaga tersisa yang rasanya hanya cukup untuk menghempaskan badan saja.

Sampai di satu titik kami bisa melihat tumpukan batu-batu besar yang sebuahnya bisa seukuran pintu rumah. Bahkan ada yang lebih besar lagi. Kami simpulkan kami sudah sampai di akhir perjalanan, kami sudah tiba di tujuan: Sumber air panas Sibanggor. Air panasnya mengandung belerang yang sangat pekat tapi berwarna jernih. Berbeda sekali dengan air belerang di Berastagi yang berwarna putih keruh.

Suhu airnya cukup tinggi jadi jangan coba-coba untuk merendam seluruh badan. Untuk merendam kaki saja kami tidak tahan berlama-lama karena terlalu panas bagi tubuh tropis kami ini. Aroma belerangnya cukup kuat tapi sekali lagi, tidak semenyengat yang ada di Berastagi.

Karena tidak ada aktifitas spesial yang bisa dilakukan di atas, kami nikmati sejenak buah perjuangan kami sebelum memutuskan untuk turun. Belum sempat saya tuntaskan rasa kesal saya karena harus mengulangi perjalanan di awal tadi, ternyata jalan turun terasa lebih ringan. Belum apa-apa pun tidak terasa kami sudah setengah jalan dan sampai di perumahan warga tempat kami menitipkan sepeda motor.

Berjumpa lagi dengan manusia-manusia selain kami betul-betul berharga bagi saya waktu itu. Akhirnya saya kembali ke dunia nyata, bukan di tengah hutan asing yang tidak bisa saya tebak ada apa di balik rimbunan semak dan pohon-pohon. Sampai saya sadari gadis pemandu kami ternyata memakai sandal dengan hak beberapa senti. Saya malu sendiri, tapi cepat-cepat menghibur diri. Ya, wajar dia berjalan lincah seperti di jalan raya. Ini kampungnya, dan baginya, lahan pepohonan yang kami lalui tadi pasti sudah seperti area bermain sehari-hari 🙃

Apakah saya ingin mengulangi? Tidak! Sekali sudah lebih dari cukup bagi saya. Setidaknya ketika ada orang yang membahas soal aek milas (air panas) Sibanggor, saya pun punya kepercayaan diri untuk menceritakan pengalaman pribadi saya.

Ada sedikit rasa bangga yang tumbuh di hati saya karena ternyata saya berhasil menurunkan nilai ambang batas kelemahan saya. Mana pernah saya duga kalau saya bakal mampu melihat langsung sumber air panas Sibanggor bagian dari puncak gunung Sorik Marapi, kalau tidak mencoba pengalaman ini barang sekali.

0 comments