Saya jadi teringat dulu waktu saya masih sekolah dasar dan bersama teman-teman saya di lingkungan yang sama masih senang berkumpul untuk makan siang. Nande selalu 'mencuci' ikan sambal atau udang sambal untuk saya makan dengan nasinya. Maksudnya, sambal yang lengket di lauk yang akan saya makan dibersihkan dahulu dengan cara dilapkan ke nasi Nande sampai benar-benar tak bersisa.
Tapi semakin bertambah usia, semakin tinggi pula tingkat toleransi saya pada rasa pedas. Terbukti dari porsi saya saat penggunaan sambal rawit yang selalu lebih banyak ketika makan bakso, dibanding bahkan oleh Nande sendiri. Saya mulai menikmati rasa pedas bahkan bisa dikatakan seperti ketergantungan. Rasanya ada yang kurang pas jika ketika makan, tidak ada rasa pedas yang dikecap oleh indera perasa.
Setelah sukses beradaptasi dengan rasa pedas, ternyata saya harus melatih lidah saya lagi ketika berkenalan dengan arsik ikan mas. Ketika belajar Biologi di SMP dulu, saya diajarkan bahwa lidah kita memiliki sensor untuk mendeteksi rasa pedas, manis, asin, dan pahit. Tapi ada satu rasa pada arsik ikan mas yang tidak bisa dideskripsikan sesederhana menjelaskan empat rasa di atas.
Getir dan Kebas. Sensasi dari andaliman, merica Batak kata mereka, itu lah yang sulit saya jelaskan ketika menikmati arsik ikan mas sebagai lauk menemani nasi di awal berkenalan dengannya dulu. Belum lagi andaliman tadi juga ditemani dengan asam cekala dan bawang batak yang cukup banyak sehingga rasanya tergolong ekstrem bagi saya waktu itu. Untungnya usia saya yang sudah beranjak dewasa semakin berhasil mengajarkan saya untuk mengkategorikan makanan cukup dengan dua kategori saja: enak dan enak sekali.
Saya pun jadi bisa lebih menghargai esensi dari makan itu sendiri; bukan sekedar kenyang tapi ada tujuan yang lebih besar yaitu melanjutkan kehidupan. Seporsi ikan mas dengan andaliman sebagai ciri khasnya mengajarkan saya untuk tidak mengomentari makanan yang sudah tersedia di depan mata; tidak bertanya kenapa bukan makanan lain yang dihidangkan.
Ikan mas yang diarsik ini mengajarkan saya kesabaran juga ternyata. Ikan mas dimasak tanpa disiangi, artinya sisik ikan masih utuh bergerigi menutupi dagingnya. Saya mesti sabar memakannya karena jika membuangnya, berarti saya melakukan tindakan mubadzir. Durinya yang halus dan banyak sekali menghalangi saya untuk makan dengan cepat karena salah-salah duri bisa tertelan. Menurut pengalaman saya, duri ikan mas termasuk paling sulit diatasi kalau sudah sampai tertelan dan tersangkut di tenggorokan.
Tapi ternyata bagian bawah kulit ikan mas terasa lemak sekali dan daging ikan di bagian ekor yang paling banyak durinya adalah yang paling manis menurut saya. Kalau saya pikir kembali, banyak sekali pembelajaran yang bisa kita petik dari sekeliling kita termasuk dari menu masakan Ibu di rumah. Yang paling sederhana, sih, menerima dengan ikhlas apapun yang disajikan dan menghabiskannya.
Tanpa saya sadari, penerimaan saya akan arsik ikan mas yang saya pernah menolak keras di awal berkenalan dulu menjadi awal saya untuk menerima apa saja makanan yang saya terima. Termasuk sekalipun makanan itu adalah yang saya bayar ketika makan di luar.
0 comments