- Rumah
Minggu ini saya awali dengan keterlambatan tiba di Panyabungan yang berimbas ke satu hari itu secara keseluruhan. Mulai dari telat sarapan, telat mengisi daftar hadir pagi, dan telat beristirahat setelah semalaman menempuh perjalanan dengan bus karena kegiatan membereskan rumah juga sudah pasti jadi terlambat.
Seperti biasa kalau rumah sudah ditinggalkan kosong berlama-lama, anak-anak daun keadaannya pun sudah memprihatinkan dan mesin air sulit dihidupkan. Padahal kamar mandi adalah tujuan pertama saya begitu sampai di rumah. Sarapan pun seadanya dengan bahan yang tersedia di kulkas sebab para penjual makanan sepertinya masih menikmati momen Lebaran. Alhasil khayalan saya menikmati nasi uduk langganan pun sirna karena hampir tidak ada yang berjualan.
Saya sempat kesal dengan pilihan saya sendiri ketika tau kalau teman saya sudah tiba di Panyabungan di pukul 4.30 pagi sedangkan saya masih membutuhkan waktu 2 jam lagi untuk sampai. Padahal ketika saya cek jarak di Peta, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Saya coba memancing diri sendiri, mari kita lihat ada hikmah apa di balik strategi yang salah ini. Ternyata tidak ada, saya tetap terlambat dengan kelelahan yang semakin bertambah.
Tapi tanpa saya sadari saya mampu menerima akibat yang terjadi karena ulah saya sendiri. Mungkin saya salah mempertimbangkan kemungkinan yang akan saya hadapi dengan pilihan-pilihan yang ada; antara menaiki mobil travel yang bisa cepat tiba tapi kenyamanan badan saya sebagai taruhannya, atau bus besar yang minim guncangan tapi lama sekali sampainya. Saya juga jadi menyadari kalau sebaiknya semua dinikmati saja, jangan dibawa emosi atau kecewa. Karena, toh, pada akhirnya saya harus tetap bersyukur karena sampai tujuan dengan selamat tanpa kurang satu apapun juga.
Masih soal house chores dengan membereskan segala berantakan akibat rumah ditinggal hampir penuh sebulan. Cucian yang lumayan banyak, rumah yang bentuknya entah sudah seperti apa, belum lagi rumput-rumput liar yang tumbuh merajalela di pot-pot anak daun saya.
Sekian lama yang belum terlalu lama tinggal di Panyabungan, tidak pernah saya sangka kalau disini juga ada masanya rumah akan diinvasi lembing. Binatang berwarna hitam, beraroma tidak sedap, dan selalu datang secara bergerombolan. Yang lebih menjengkelkan, lembing senang dengan cahaya padahal saya tidak bisa tidur tanpa lampu menyala. Jadilah lantai kamar saya diramaikan oleh lembing dengan berbagai aktifitasnya; ada yang berjalan santai dari petak keramik satu ke yang lain dan tidak sedikit yang beterbangan mengitari bohlam lampu menghasilkan suara dengingan dari kepak sayapnya.
Keadaan anak daun setelah rerumputan dicabut hingga ke akarnya |
- Pekerjaan
Pelan-pelan kehidupan sebelum work from home pun mulai kembali. Berkumpul dengan teman dan rekan, saling berkunjung dan berkumpul, kembali berinteraksi dengan mereka yang sebelumnya hanya bisa dari jarak jauh. Bedanya kali ini kita lebih berhati-hati, tetap mematuhi protokol kesehatan dan menjaga kebersihan.
Biar dikata kita sudah harus bisa menerima untuk hidup berdampingan dengan corona, hati kecil tetap berharap kalau corona akan sepenuhnya sirna. Kalaupun tidak, jangan lagi ada nyawa berharga yang menjadi korbannya.
Proposal bantuan dana penelitian yang kami ajukan akhirnya dinyatakan sebagai Nominee. Minggu ini dengan ditandatangani ketua kelompok, kami menyatakan setuju untuk melaksanakan penelitian hingga tuntas. Pengalaman ini baru pertama kali bagi saya dan semoga langkah awal yang tertatih ini bisa melatih saya untuk lebih bertanggung jawab ke depannya.
- Gobir
Kami diundang Meta, salah satu sahabat saya di Panyabungan, untuk makan mi ayam sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya yang ke 30 tahun. Seperti biasa, aktifitas mulut kami bukan hanya mengunyah makanan tapi juga mengunyah alfabet alias tak berhenti bicara.
- Tontonan
Akhirnya saya menyelesaikan River Where the Moon Rises, drama Korea Selatan yang sempat saya stop selama Ramadhan. Di pertengahan episode terakhir, saya sempat berpikir, wah, ini memang drama Sageuk yang sebenarnya. Alasan saya cinta dengan genre Sageuk di drama Korea adalah hakikatnya yang jauh dari mengajak berkhayal. Ceritanya selalu menyajikan bagaimana seharusnya kehidupan itu; yang mencintai tidak selalu bisa saling memiliki, pasti ada orang terkasih yang harus direlakan ketika seseorang berada di puncak kejayaan, jika seseorang menginginkan sesuatu maka ia harus siap kehilangan yang lain. Tapi di penghujung kisah, ternyata drama ini menawarkan setitik khayalan juga seperti kebanyakan drama romansa Korea Selatan yang lain.
0 comments